top of page
  • Writer's pictureEllis Artyana

Bagaimana Cara Mengajarkan BIPA pada Pertemuan Pertama?

Updated: Sep 14, 2018

Saya sengaja memilih judul dengan pertanyaan seperti di atas. Saya juga tahu bahwa untuk para pegiat BIPA atau yang sudah terbiasa dengan dunia pengajaran pertanyaaan itu terlalu umum. Jika ingin spesifik, sebaiknya saya memilih judul yang menyinggung model, metode, atau teknik seperti apa yang dipakai saat mengajarkan BIPA.


Alasan saya memilih judul dengan pertanyaan yang terlalu umum tersebut karena pertanyaan inilah yang paling sering saya terima dari orang-orang awam yang bertanya tentang pengajaran BIPA. Iya, benar, tulisan ini memang saya khususkan bagi pembaca yang ingin tahu seperti apa proses pengajaran BIPA. Khususnya pada pertemuan pertama.


Bagaimana sih cara ngajar BIPA? Sama enggak sih dengan ngajar Bahasa Indonesia ke orang Indonesia? Kita harus pintar bahasa Inggris/asing dong? Terus, kalau muridnya tidak mengerti, gurunya pakai “bahasa Tarzan”, ya?


Itulah pertanyaan-pertanyaan yang sering saya terima. Saya yakin, pengajar BIPA lainnya juga setidaknya pernah mendapatkan satu dari beberapa pertanyaan seperti itu. Untuk itu, saya akan menjawab pertanyaan-pertanyaan umum tersebut sekaligus menjelaskan hal-hal yang mungkin perlu pembaca ketahui tentang pengajaran BIPA.


Pertama, dalam hal pengajaran BIPA, bahasa Indonesia diajarkan sebagai bahasa asing. Dari sini, kita bisa memahami bahwa ada prinsip yang sangat berbeda antara mengajarkan BIPA kepada orang Indonesia dengan mengajarkannya kepada orang asing. Bagi pengajar, perbedaan ini akan membedakan metode dan teknik pengajarannya dan bagi pemelajar akan membedakan proses belajarnya.


Saya tak akan terlalu banyak menjelaskan perbedaan tersebut karena dalam tulisan ini saya akan membahas bagaimana cara mengajarkan BIPA. Karenanya, sekarang mari bayangkan saat ini Anda adalah pengajar BIPA yang akan mengajar pada hari pertama kelas Anda dimulai.


Biasanya, di pertemuan pertama, pengajar dan pemelajar akan saling berkenalan terlebih dahulu. Namun, bagaimana bisa berkenalan sementara pemelajar belum bisa berbahasa Indonesia? Apakah harus pakai bahasa ibu si pemelajar? Bagaimana jika pengajarnya sendiri tidak menguasai bahasa ibu pemelajar? Nah, oleh karena itu, tak perlu memaksakan diri untuk menggunakan bahasa ibu atau bahasa yang dipahami pemelajar. Karenanya, pakai bahasa Indonesia saja. Bisa kok. Caranya?


Caranya, kita sebutkan nama kita, lafalkan dengan jelas dan dengan tempo perlahan, tetapi dengan volume yang cukup nyaring. Lafalkan sambil tuliskan nama kita dengan jelas di papan tulis. Jangan hanya menyebutkan dan menuliskan nama, tetapi gunakan kalimat lengkap, misalnya “Nama saya Ellis.” Ulang terus kalimat itu sampai pemelajar paham bahwa kita sedang menyebutkan nama kita. Kemudian, tulis kalimat selanjutnya “Saya berasal dari Indonesia” sambil tetap menuliskannya dengan jelas. Ulang dua kalimat itu sambil memberi waktu pemelajar untuk mencerna maksud ujaran kita. Biasanya, pada saat tersebut, pemelajar akan membaca sekaligus meniru gurunya sambil mencoba mengganti informasi pada kalimat itu dengan informasi tentang dirinya.


Setelah itu, kita bisa mulai dengan bertanya nama pemelajar. Tanya dengan pertanyaan “Siapa nama Anda?” sambil tak lupa menuliskannya di papan tulis. Ulang terus menerus pertanyaan itu dengan intonasi bertanya yang tepat. Gunakan gerak tubuh yang sesuai dan sewajarnya. Biasanya, siswa akan memahami maksud kita. Pertama, biasanya siswa hanya akan menyebutkan namanya saja karena belum bisa menjawab dengan kalimat utuh. Di saat itulah kita menunjuk papan tulis yang sebelumnya sudah kita tulisi kalimat “Nama saya (nama pengajar)” Dengan demikian, siswa tahu bagaimana cara bertanya sekaligus menjawab pertanyaan tentang nama. Selanjutnya, ulang cara yang sama saat kita bertanya asal negara siswa.


Sekarang, Anda mungkin sudah mulai bisa membayangkan langkah-langkah tersebut. Cara ini terus digunakan untuk materi-materi selanjutnya. Namun, kita perlu sabar dan melakukannya perlahan dan selangkah demi selangkah. Setiap memberi satu materi atau bahkan satu kalimat, ulang terus hingga mahasiswa paham dan bisa menggunakannya. Beri waktu kepada siswa dan jangan terburu-buru.


Di awal pertemuan hingga setidaknya di pertengahan pertemuan tingkat dasar, topik-topik yang diberikan adalah topik-topik yang sangat dekat dengan diri siswa. Topik tentang diri sendiri hingga tentang hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan dasar sehari-hari, misalnya topik tentang keluarga, bertanya arah dan lokasi, waktu (hari, tanggal, jam, dll), berbelanja, tentang kegiatan sehari-hari, hingga tentang hobi. Selain masih seputar diri si pemelajar, topik tersebut juga topik yang mudah divisualisasikan. Hal ini memungkinkan pengajar menggunakan media atau alat bantu seperti gambar, peta, jam, dll. Hal tersebut dapat sangat membantu siswa memahami topik yang sedang dipelajari.


Apakah harus selalu memakai bahasa Indonesia sebagai pengantar? Idealnya, iya. Karena memang bahasa Indonesia adalah bahasa sasaran yang sedang dipelajari. Artinya, semakin sering guru menggunakan bahasa Indonesia termasuk sebagai bahasa pengantar di kelas maka siswa semakin terbiasa mendengar dan memahami pemakaiannya. Saat guru hanya menggunakan bahasa Indonesia sebagai satu-satunya bahasa yang dipakai di dalam kelas maka guru tersebut sebetulnya sedang menggunakan metode yang dikenal dengan nama ‘metode langsung’ (direct method). Namun, jika guru menggunakan bahasa lain, misalnya saat memberikan kosakata baru guru memakai bahasa ibu siswa, maka guru tersebut sedang menggunakan metode terjemahan. Metode terjemahan biasanya digunakan untuk kelas homogen, artinya semua siswa berasal dari negara yang sama atau setidaknya sama-sama memahami bahasa lain selain bahasa Indonesia.


Untuk kelas heterogen, saya tidak menyarankan penggunaan metode terjemahan tersebut. Bukan berarti 'haram' dipakai, tapi terkadang guru perlu mempertimbangankan psikologis para siswa. Terkadang di sebuah kelas yang heterogen ada ego dari setiap siswa untuk ingin negaranya mendapatkan perhatian yang sama dengan negara asal siswa lainnya. Misalnya, jika guru menerjemahkan ke dalam bahasa X yang memang merupakan bahasa dari negara X, maka tidak menutup kemungkinan akan memunculkan rasa tak nyaman bagi siswa yang berasal dari negara Y meskipun dia juga menguasai bahasa X. Oleh karena itu, menurut saya, sebaiknya pengajar tidak memakai bahasa yang hanya 'mewakili' satu negara tertentu di dalam kelas yang siswanya berasal dari beberapa negara berbeda.


Dari perbedaan kondisi tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa pertanyaan seperti "Metode apa yang paling bagus?" bisa dijawab dengan "Semua metode bagus" tergantung situasi dan kondisinya. Tidak ada metode yang benar-benar cocok atau tidak cocok. Metode terbaik adalah metode yang mampu membantu siswa belajar dan membantu guru mencapai tujuan pembelajaran dengan baik. Yang harus diperhatikan adalah seperti apa karakteristik siswa dan kelas Anda. Juga sangat tidak menutup kemungkinan guru menggunakan beberapa metode sekaligus dalam sebuah pertemuan. Yang pasti, sebagai guru, Andalah yang paling tahu situasi kelas dan kebutuhan para siswa Anda.


Bagaimana jika ada siswa yang bertanya kosakata atau materi di luar topik yang dipelajari? Apalagi topik itu baru akan dipelajari di tingkat tinggi. Biasanya ada siswa yang seperti itu karena mungkin dia pernah mendengar atau membaca hal terkait pertanyaannya tersebut di luar kelas. Anda boleh saja menjelaskannya. Namun, hati-hati karena hal ini akan menjadi bumerang bagi Anda sendiri. Mengapa? Karena ini akan menyulitkan guru dan akhirnya tentu membingungkan siswa. Jadi, sebaiknya Anda jawab bahwa topik itu akan dipelajari di tingkat kelas yang lebih tinggi. Sampaikan juga bahwa kalaupun dijelaskan sekarang, itu akan membingungkan si siswa itu sendiri.


Jadi, usahakanlah agar kelas selalu dalam kontrol Anda. Apalagi di pertemuan pertama, penting sekali membangun rasa nyaman dan percaya diri siswa. Jika guru mampu menyampaikan materi dengan cara yang mudah dipahami siswa, maka guru tersebut akan sanggup membuat siswa merasa yakin bahwa dia akan bisa mempelajari bahasa Indonesia. Rasa percaya diri siswa tersebut adalah modal utamanya untuk terus memiliki motivasi belajar. Untuk membangun kepercayaan diri siswanya, seorang guru tentu harus memulainya dengan membangun kepercayaan dalam diri guru itu sendiri. Karena rasa percaya diri guru akan menular pada para siswanya.



---Ellis Artyana---

Konstanz, September 2018

84 views0 comments
bottom of page